2. Kasih dan Perkataan
ON TRUE LOVE: Seri Kedua
“But speaking the truth in love, we are to grow up in all aspects into Him who is the head, even Christ,” (Ephesians 4:15)
Kasih dan perkataan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana kasih tampak dalam sikap dan tindakan, demikian pula kasih tampak ketika kita memperkatakan kebenaran. Kasih tidak akan tega untuk memperkatakan kebenaran tanpanya, dan tidak akan sanggup memperkatakan ketidak-benaran dengannya.
Kasih dan perkataan kebenaran berjalan seiring. Kenyatannya jelas tidak mudah apalagi di dalam dunia yang berdosa, namun itulah panggilan kita sebagai gereja yang bertumbuh kearah Kristus.
Bukankah kita yang sering kita temui adalah kasih justru lebih mudah berlangsung tanpa kebenaran? Bukankah lebih mudah kasih berwujud dengan memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk mendapatkan apa yang diinginkan? Kasih bukankah lebih dekat dengan kebebasan untuk berbuat apa yang kita inginkan?
Perkataan kebenaran kesannya lebih kepada aturan, hukum dan komitmen. Bagaimana itu bisa sejalan dengan kasih?
Mari kita tengok satu masa dalam kehidupan bangsa Israel sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Hakim-Hakim. Kitab ini ditutup dengan pernyataan “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (“In those days there was no king in Israel; everyone did what was right in his own eyes,” 21:25)
Kesimpulan ini pertama-tama menjelaskan pasal 21 tentang kelakuan suku Benyamin. Krisis besar menimpa keutuhan bangsa Israel. Kelakuan suku Benyamin mengakibatkan ancaman peperangan di antara mereka, bahkan hampir saja suku ini dibuang dari kesatuan bangsa Israel. Apa kelakuan suku Benyamin yang menimbulkan krisis besar bahkan memberikan kesimpulan pada ayat terakhir kitab ini?
Kelakuan suku Benyamin dinyatakan mulai pasal 19. Peristiwa yang keji dan menyedihkan terjadi di kota Gibea, daerah suku Benyamin (19:14). Penduduk kota itu dikatakan sebagai orang-orang dursila (19:22). Mereka bertindak tidak lagi seperti umat Allah seharusnya. Sebaliknya mereka bersikap dan bertindak seperti orang-orang kota Sodom. Mereka mengepung rumah yang dikunjungi seorang Lewi dengan gundiknya (19:1). Mereka bermaksud untuk merampas dan ‘memakai’ orang asing yang menumpang itu. Si pemilik rumah tidak mengijinkan penduduk kota itu berbuat jahat kepada tamunya. Ia menawarkan anak perempuannya untuk diperlakukan apa saja yang mereka pandang baik (19:24). Penduduk kota Gibea menolak. Akhirnya tamu itu menyerahkan gundiknya. Kemudian mereka memperkosa gundik itu sampai akhirnya mati menjelang pagi (19:28). Selanjutnya peristiwa ini disusul dengan kekejian yang menggetarkan seluruh Israel.
Peristiwa yang mengerikan itu menyisakan suatu gema perkataan, “Perbuatlah apa yang kamu pandang baik.” Inilah yang menghantar kita memahami kesimpulan kitab Hakim-Hakim.
Tuan rumah di Gibea yang dengan baik hati menampung tamunya bahkan rela mengorbankan anak gadisnya demi keselamatan tamu dan gundiknya itu.
Tuan rumah bersedia berkorban demi tamunya. Namun berhadapan dengan orang dursila di kota Gibea di daerah Benyamin, tidak tepat menyuarakan perkataan “perbuatlah apa yang kamu pandang baik.” Bahkan ketika kita mempertegas lagi, apakah ada manusia yang berhak menyuarakan perkataan itu sekalipun alasannya karena kasih?
Perkataan ini menggemakan suara yang sama dengan peristiwa yang mirip, yaitu peristiwa di kota Sodom. Lot, keponakan Abraham yang memilih tinggal di Sodom, kedatangan tamu di rumahnya. Penduduk kota menyerbu dan memaksa Lot untuk menyerahkan tamunya kepada mereka. Lot bersedia mengorbankan anak gadisnya demi keselamatan tamunya. Dan Lot berseru kepada orang-orang itu, “perbuatlah kepada mereka [anak gadisnya] seperti yang kamu pandang baik.” (Kejadian 19:8). Suara ini berkumandang, di dengar oleh kedua anak gadisnya, namun dilecehkan oleh penduduk Sodom (Kejadian 19:9).
Perkataan itu diucapkan dengan maksud melindungi dan menyelamatkan orang asing. Suatu perbuatan yang mulia. Namun apakah perkataan itu sesuai dengan maksud yang baik?
Dari rumah Lot, perkataan itu bergema. Akibat yang pertama tampak dari keberanian anak gadisnya untuk bersetubuh dengan ayahnya setelah mereka diselamatkan dari kehancuran kota Sodom dan Gomorah (Kejadian 19:33).
Dari rumah di Gibea, perkataan itu bergema. Akibat kedua tampak dengan kekejaman penduduk Gibea yang membawa ancaman peperangan antara suku Benyamin dengan suku-suku Israel.
Kasih dan perkataan. Bagaimana perkataan yang sejalan dengan kasih yang sejati? Apakah kasih memperbolehkan kita berbuat apa saja yang kita pandang baik?
Perkataan itu disimpulkan diakhir kitab Hakim-Hakim. Ketika manusia tidak lagi mengindahkan kebenaran TUHAN, tunduk kepada kedaulatan-Nya, manusia berbuat apa saja yang dipandangnya baik, maka kasih menguap.
Puji Tuhan, kisah zaman Hakim-Hakim tidak berakhir disana. “Pada zaman para hakim memerintah ada kelaparan di tanah Israel. Lalu pergilah seorang dari Bethlehem-Yehuda beserta isterinya dan kedua anaknya laki-laki ke daerah Moab untuk menetap di sana sebagi orang asing.” (Rut 1:1)
Pada zaman para hakim, zaman yang menggemakan suara Lot, ada seorang perempuan tua yang kehilangan suami dan kedua anak laki-laki di tanah asing, di tanah Moab. Tanah Israel, tanah kelahirannya sedang dilanda kelaparan. Kekeringan menandai tanah Israel sekaligus menandai kekeringan rohani mereka. Perempuan tua itu adalah Naomi. “Sebutkanlah aku Mara,” katanya ketika ia kembali ke tanahnya di Israel. Mara adalah kepahitan. Kepahitan kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Tiada kata lain yang dapat ia ucapkan kecuali Mara.
Kata-kata Naomi mengungkapkan kepahitannya. Kasih seolah-olah lenyap. Ia kembali. Apakah berakhir kisah yang menyedihkan ini sehingga menambah ‘kegelapan’ zaman para hakim? Tidak!
Naomi ketika ia kembali ke Bethlehem, ia tiba “pada permulaan musim menuai jelai.” (1:22). Suatu permulaan yang baik. Masih ada kasih karunia TUHAN baginya. Bukan itu saja, Naomi tidak kembali seorang diri. Salah seorang menantunya, Rut, seorang perempuan keturunan Moab turut bersamanya. Apa kepentingan peristiwa ini?
Rut tidak sekedar menyatakan kesetiaan dengan tindakannya mengikut mertuanya. Namun terlebih lagi ia memulai tindakannya dengan perkataannya,“Tetapi kata Rut: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apapun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!” (1:16-17)
Suara Rut seumpama cahaya lilin dalam kegelapan. Suara seorang perempuan Moab, keturunan Lot dan anak perempuannya. Suara yang membalikkan gema suara Lot. Suara yang mengungkapkan kasih yang sejati, kasih di dalam perjanjian (covenant). Kalimat Rut yang diucapkannya kepada Naomi adalah ucapan perjanjian. Ia bersedia bersama (be-with) dengan mertuanya dalam tanah yang dipijaknya, dalam iman kepada Allah yang sejati, dan tetap bersama sampai akhir perjalanan hidupnya. Kasih yang sejati adalah kasih yang dinyatakan dalam kedatangan Yesus Kristus, Imanuel, Allah beserta kita. Ia berkenan beserta dengan kita!
Kasih tidak mudah hanya diukur dengan kata-kata yang manis. Kasih tidak semata-mata sama dengan kata-kata yang memperbolehkan segala sesuatu. Kasih adalah perkataan kebenaran yang bersedia dinyatakan dengan kerelaan bertumbuh bersama dalam kasih Kristus. Kasih yang rela tunduk dalam kebenaran Tuhan.
Nyatakanlah kasih itu dalam kebersamaan baik dalam kehidupan keluarga, gereja maupun di dunia ini.
— Pdt. Joshua Lie