Ibu itu berasal dari SUNEM
2 Raja-Raja 4:8-20
Ada seorang perempuan di Sunem. Ia kaya dan bersuami. Apa keunikannya?
Keunikannya sekalipun ia tidak memiliki anak dari kandungannya, ia tidak gelisah. Ia berbeda dari perempuan-perempuan yang bergumul karena tidak mempunyai anak. Kita ingat pergumulan Hana. Hana bergumul karena tidak memiliki anak dari kandungannya. Ia bergumul di Bait Allah. Perempuan di Sunem tidak merasa tertekan karena persoalan itu.
Sebaliknya sekalipun ia tidak memiliki anak dari kandungannya sendiri, ia menunjukkan sifat keibuannya. Sifat ini tampak dalam sikapnya menyambut dan menyediakan apa yang diperlukan bagi seorang abdi Allah, yaitu Elisa.
Ia bukan saja mengundang dan menyambut abdi Allah itu, ia menyediakan makan, kamar, tempat tidur, meja, kursi, dan sebuah kandil. Ia menyambut abdi Allah dengan perhatian selayaknya seorang ibu bagi anak-nya. Sifat keibuannya memancar dalam hidupnya sekalipun ia tidak memiliki anak dari kandungannya sendiri.
Ia puas dengan apa yang ada. Keibuannya sudah terbukti. Ketika Elisa menawarkan sesuatu baginya, ia menjawab, “Aku ini tinggal di tengah-tengah kaumku.” (4:13) Ia merasa cukup dan puas dalam kehidupan kaumnya. Ia menyatakan hidup yang penuh di tengah-tengah kaumnya. Perkataannya ini mengingatkan kita akan kedekatan (attachment) dan keramah-tamahan (hospitality)-nya dari sifat keibuannya.
Namun TUHAN melalui Elisa menghantarnya dalam suatu pengalaman yang nyata sebagai seorang ibu. Elisa menyatakan nubuatannya bahwa perempuan itu akan mengandung anaknya sendiri! Tentu hal ini mengejutkan bagi perempuan itu. Bukan saja karena ia sudah puas dengan apa yang ada, namun pula karena suaminya pun sudah tua. Buat apa lagi janji itu?
Maka perempuan itu menjawab kepada Elisa, abdi Allah itu, “Janganlah tuanku, ya abdi Allah, janganlah berdusta kepada hambamu ini!” Jawaban perempuan ini mengingatkan kita kembali akan tanggapan Sara ketika diberitahu akan janji TUHAN baginya. Elisa mengucapkan janji ini bukan sekedar untuk menyenangkan perempuan yang telah berbuat baik baginya. Namun Elisa menyatakan maksud TUHAN bagi perempuan itu agar ia berbuah (fruitful) bukan sebagai si mandul seperti bangsa Israel yang tidak menghasilkan buah yang berkenan kepada Allah. Sekaligus Elisa berfungsi seperti “suami” yang mewakili TUHAN, suami yang sebenarnya bagi Israel.
Maka benarlah janji itu. Perempuan itu mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Kini sifat keibuan yang sudah tampak itu diuji secara langsung ketika berhadapan dengan anak yang di rahim dan kemudian di tangan dan pangkuannya.
Namun kebahagiaan itu disusul dengan kepedihan. Anaknya itu meninggal dunia. Ayahnya menyerahkan anak itu kepada ibunya. Apa yang dilakukan perempuan itu?
4:21-37
Kini perempuan itu segera bertindak. Ia segera menyiapkan dirinya bergegas pergi menjumpai Elisa. Ia, seorang perempuan yang puas dengan kaumnya, kini bergegas “ke luar” dari kaumnya. Ia memerlukan Elisa. Sifat keibuannya mendorongnya melintas batas kaumnya.
Suami si ibu itu tampaknya masih terikat dengan hari dan waktu. Ia merasa heran istrinya mau pergi kepada abdi Allah padahal bukan hari raya. Si suami tampaknya seorang yang realistis. Anaknya sudah mati, tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Namun si ibu yang terlibat langsung dalam janji dari abdi Allah itu berketetapan hati untuk pergi menjumpai abdi Allah itu. Sifat keibuannya mendesaknya untuk melampaui hari dan jam untuk bertindak bagi anaknya.
Elisa belum memahami apa yang terjadi. TUHAN belum menyatakan kepadanya. Namun Elisa menangkap pedihan hati perempuan itu. Perempuan itu mengulangi kembali perkataannya, “Adakah kuminta seorang anak laki-laki dari pada tuanku? Bukankah telah kukatakan: Jangan aku diberi harapan kosong?” (4:28). Sebagai seorang ibu, hatinya pedih. Namun kini ia bergumul dengan kepedihan yang seolah-olah ditimpakan kepadanya tanpa ia memintanya! Tanpa seorang anakpun, ia sudah menyatakan sifat keibuannya. Kini kehilangan anaknya, hanya membuatnya pedih.
Elisa kemudian menyuruh Gehazi, bujangnya untuk menyembuhkan anak itu. Elisa menghadapi perempuan itu dengan mediasi bujangnya seperti awalnya ketika ia menanyakan keperluannya (2 Raja-Raja 4:12-13). Namun perempuan itu bergeming. Ia seorang ibu yang berjuang bagi anaknya. Ia sadar hanya Elisa yang dapat menolong anak itu.
Elisa kemudian bersama perempuan itu pergi ke kamar, tempat dibaringkan anak itu. Elisa membangkitkan anak itu dengan memberikan hidupnya (4:34) yang menunjukkan Yesus Kristus yang memberikan hidup-Nya bagi kita.
Anak itu bangkit! Peristiwa ini menggenapi Amsal 31:28 “Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia…” Menjadi ibu bukanlah sekedar melakukan tugas sebagai seorang ibu. Seorang ibu “membangkitkan” anak-anak yang beribadah. Seorang ibu disebut berbahagia oleh anak-anaknya.
Callum Brown dalam bukunya “The Death of Christian Britain: Understanding secularisation 1800-2000,” menyatakan peranan penting perempuan dalam gereja. Dalam hasil risetnya, Brown menunjukkan bahwa keruntuhan gereja bukan karena kemajuan ilmu pengetahuan, melainkan karena kaum perempuan tidak lagi berperanan dalam gereja. Seolah ia ingin menyatakan keruntuhan gereja dalam sekularisasi disebabkan kaum perempuan di gereja tidak lagi berperanan sebagai ibu (motherhood).
Peristiwa ini diakhiri dengan perkataan Elisa, “Angkatlah anakmu ini!” Perempuan itu tersungkur. Ia bukan hanya menampakan dirinya sebagai ibu namun kini sebagai ibu yang berbuah.
Jaman kita ditandai dengan kesadaran akan persoalan jender. Dari filem sampai kepada kehidupan sehari-hari, kita disungguhi soal jender: laki-laki dan perempuan. Kita mengabaikan peranan motherhood (and fatherhood). Hidup manusia bukan hanya persoalan laki-laki dan perempuan, namun juga berkaitan dengan keibuan dan kebapakan.
Anak-anak perempuan kita bukan hanya perlu menyadari dirinya sebagai perempuan, namun juga disiapkan menunjukkan sifat keibuannya. Demikian pula dengan anak-anak laki kita. Gereja perlu mengingatkan peranan kita sebagai umat Allah, bukan hanya sebagai laki-laki dan perempuan tetapi menunjukkan keibuan dan kebapakan.
Pola perempuan dan laki-laki yang acap kali menampilkan pola attractive, perlu diimbangi dengan pola attachment bagi sifat keibuan dan kebapakan. Inilah yang ditampilkan oleh seorang ibu yang berasal dari Sunem terhadap abdi Allah dan terhadap anaknya.