Renungan Lenten
(Matius 26:47-56)
Keheningan taman Getsemani dikoyakkan oleh deru langkah sekelompok orang. Mereka sepakat untuk menangkap Yesus. Kesepakatan gelap sudah dilakukan. Segala kepentingan disatukan, menyatukan langkah menuju ke taman Getsemani. Berbagai kepentingan yang sebelumnya berbenturan tiba-tiba berpadu. Dan kini persoalannya menjadi persoalan untuk “bertahan hidup” (survival). Seolah-olah pilihan tersisa, mereka atau Yesus yang layak bertahan hidup.
Ketika manusia meletakkan kehidupannya sekedar untuk survive, itu berarti seluruh kehidupan manusia diletakkan pada dua kegiatan utama, yaitu ambil dan barter, mengambil dan berdagang (taking and trading). Jane Jabobs, seorang ahli perkotaan dari Kanada menguraikan hal ini dalam bukunya “Systems of Survival.” Mari kita perhatikan peristiwa penangkapan Yesus.
Yudas salah seorang dari kedua belas murid Yesus, mendekati Yesus dan memberikan ciumannya. Ciuman tanda kedekatan, tanda hormat dan respek, ketika dikuasai oleh kepentingan untuk survive berubah menjadi tanda untuk menangkapnya. “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia.” (ayat 48). Kedekatan dan keintiman yang ditandai dengan ciuman berubah menjadi hak memiliki. Kedekatan dengan Yesus membuat Yudas merasa memiliki Yesus. Rasa memiliki mendorongnya berhak menjual (trading) gurunya dengan harga 30 keping perak.
Di lain pihak, imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi dengan serombongan orang yang membawa pedang dan pentungan mau menangkap Dia. Mereka merasa berhak ‘menangkap” (taking/seizing) Yesus dengan kuasa yang mereka miliki. Pedang dan pentungan menyatakan kuasa. Ketika kita merasa memiliki kuasa atas sesuatu, kita merasa berhak mengambil (taking) bahkan merampasnya.
Inilah gambaran kehidupan manusia untuk bisa bertahan hidup di dunia. Hidup sekedar dipandang sebagai suatu “survival.” Kedekatan mendorong kita untuk “menjual.” Rasa memiliki memberanikan kita untuk “menjual.” Ketika kita merasa dekat dengan seseorang, kita merasa berhak “menjual” beritanya dengan gosip atau dengan fitnah. Kekuasaan mudah menjebak kita untuk “mengambil” bahkan “merampas” yang kita inginkan. Ketika kita sebagai orang tua berkuasa atas anak-anak kita, kita mudah terjebak ingin “mengambil” kehidupan anak-anak kita.
Suatu bangsa yang beradab menjalankan keduanya dengan dasar hukum. Pemerintah berhak “mengambil” dari rakyatnya pajak yang ditetapkan oleh hukum yang adil. Seorang pedagang berhak menjual dagangannya berdasarkan aturan hukum yang adil. Keduanya berjalan dalam tataran hukum sehingga bukan sekedar untuk “survive.” Ketika pemerintah “menjual-belikan” pajak yang sepatutnya diambil, maka korupsi merajalela. Ketika seorang yang berkuasa atau pejabat mengambil dagangan rakyatnya, maka itulah perampasan.
Namun keduanya akan menjadi kebahayaan ketika dijalankan hanya sekedar untuk bisa bertahan hidup.
Dalam keadaan yang gelap di antara kekuasaan yang mau menangkap (“taking”) dan kelicikan Yudas yang menjual (“trading”) gurunya dengan tanda ciuman, salah seorang yang menyertai Yesus, menghunus pedang dan memutuskan telinga hamba Imam besar. “Masukkan pedangmu itu kembali ke sarungnya,” demikian kata Yesus. Kita dipanggil bukan untuk menghunus pedang dalam kejengkelan kita akan ketidak adilan. Kita tidak dipanggil untuk menggunakan pedang sebagai jalan keluar untuk menguasai dan mengambil atas kemauan kita. Kita dipanggil untuk memikul salib!
“Memikul salib” suatu tindakan yang tidak lazim bagi kehidupan kita. Tuhan Yesus Kristus datang ke dunia dan menyerahkan nyawa-Nya bukan tindakan “making a living,” sekedar untuk menghidupi hidup-Nya. Kayu salib bukan tindakan “mengambil” ataupun “memperdagangkan.” Kayu Salib melebihi keduanya! Kayu salib bukan tanda “survivor.” Kayu Salib bukan pula tanda “victim.” Kayu salib adalah pemberian (gift) yang berupa korban yang sempurna (sacrifice).
Kayu salib Yesus Kristus adalah pemberian bagi keselamatan kita. Pemberian (gift) yang melampaui “mengambil dan memperdagangkan.” Pemberian yang tanpa pamrih, pemberian kepada yang tidak layak menerima, pemberian yang mengubah hidup, pemberian yang memerdekakan bukan memperbudak, pemberian yang memberikan aliran air hidup yang mengalir terus kepada hidup yang kekal.
Salib adalah gift. Dari salib Kristus, mengalir darah-Nya yang menyembuhkan kita. Mengalir ucapan-Nya yang mengampuni dan menebus kita. Mengalir hidup-Nya bagi kita sehingga kita beroleh hidup yang baru. Hidup yang mengalirkan kasih dan kebenaran-Nya. Hidup yang beroleh mata air yang mengalir sampai kepada hidup yang kekal.
Orang Kristen dalam kehidupan di dunia ini tidak luput dari perjalanan peradaban manusia “taking and trading.” Namun kehidupan orang Kristen didasarkan bukan lagi sekedar untuk bisa hidup, bisa kaya, bisa sehat, bisa “survive”. Melainkan hidup yang memancarkan kelimpahan Tuhan Sejarah gereja di Amerika ditandai dengan pergerakan penatalayanan (stewardship) yang terabaikan oleh gereja di Eropa yang diatur oleh pemerintah.
Menuju kepada peringatan akan sengsara dan kematian Yesus Kristus, Tuhan kita, setiap kita dipanggil untuk mengucap syukur atas anugerah-Nya. Kepenatan dan pergumulan jangan kita pandang dalam konteks “taking” atau “trading” tetapi dengan bersandar sepenuhnya pada kasih karunia-Nya. Di sanalah kita beroleh kelegaan yang sejati dari salib Kristus.
— Pdt. Joshua Lie