NATAL DAN TUBUH (4) : Ratapan Rahel
(Matius 2:16-18)
Peristiwa natal bukan sekedar kemeriahan belaka. Peristiwa natal dibarengi dengan ratapan dan tangisan di kota Bethlehem dan sekitarnya. Herodes, raja wilayah sangat marah karena merasa diperdayakan oleh orang-orang Majus yang tidak memberitahukannya tentang raja yang baru dilahirkan itu.
Dalam kemarahannya, ia memberikan perintah untuk membunuh semua anak di Bethlehem dan sekitarnya.
Peristiwa ini menggenapi firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia, “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi” (Matius 2:17-18).
Bagaimana kita memahami peristiwa yang menyayat hati ini?
Peristiwa ini dipahami debagai “Ratapan Rahel” (Rachel Weeping). Ratapan Rahel mewakili ratapan seorang ibu bagi anak-anaknya. Keprihatinan dan kedukaannya begitu besar sampai dikatakan ia tidak lagi mau dihibur. Ia mau merasakan sedalam-dalamnya keprihatinannya. Ratapan seorang ibu bagi anak-anaknya merupakan karunia bagi peradaban manusia. Tanpa seorang ibu yang prihatin dan mengasihi anak-anaknya, tidak akan ada hari depan bagi perjalanan hidup manusia. Kita ingat bagaimana Monika, seorang ibu yang meratap bagi anaknya, Agustinus bertahun lamanya, menghantar Agustinus menjadi seorang bapak gereja. Kita juga dipaksa meratap ketika mendengar bahkan menyaksikan ada ibu yang menelantarkan apalagi membunuh anaknya sendiri. Ratapan Rahel mengingatkan kita pentingnya peranan seorang ibu bagi anak-anaknya.
Kita belum selesai sampai disini. Masih ada yang perlu kita renungkan. Mengapa Matius mengutip Yeremia 31 dan mengapa Yeremia menyebut Rahel?
Kita menengok kembali pada Kitab Kejadian 35. Dalam perjalanan dari Betel, Rahel yang tengah mengandung, melahirkan anaknya. Persalinannya sangat sukar. Ia berjuang antara hidupnya atau hidup anaknya. Rahel mempertahankan hidup anaknya daripada hidupnya sendiri. Ketika anaknya laki-laki lahir dan diberinya nama Ben-Oni, Rahel tidak lagi kuat, dan menghembuskan nafas terakhirnya. Rahel rela mati bagi anaknya, yang kemudian diberi nama Benyamin itu. Inilah perjuangan Rahel, seorang ibu, bagi anaknya.
Ketika kita membandingkan soal Rahel di dalam kitab nabi Yeremia, disana dituliskan firman TUHAN tentang Rahel menangisi anak-anaknya (31:15). Firman TUHAN itu berupa penghiburan bagi Israel yang akan dibuang ke Babel. Penghiburan adanya seorang ibu yang menangisi anak-anaknya. Anak-anak yang ia lahirkan, bahkan dengan mengorbankan nyawanya sendiri, kini tidak taat kepada TUHAN yang memberikan hidup, TUHAN yang memelihara mereka. Ratapan Rahel bukan sekedar demi hidup anak-anaknya, tetapi juga ratapan karena anak-anakNya tidak lagi taat kepada TUHAN. Ketika dunia semakin sesat jalannya, kita dikuatkan ketika menyadari adanya “Rahel yang meratap.” Oleh karena kemudian TUHAN sendiri yang akan memberikan penghiburan-Nya. “Beginilah firman TUHAN: Cegahlah suaramu dari menangis, dan matamu dari mencucurkan air mata, sebab untuk jerih payahmu ada ganjaran, demikianlah firman TUHAN; mereka akan kembali dari negeri musuh. Masih ada harapan untuk hari depanmu, demikianlah firman TUHAN: anak-anak akan kembali ke daerah mereka.” (31:16-17). Inilah yang dikutip oleh Matius 2:18.
Bagaimana kita memahaminya dalam kaitan dengan peristiwa kelahiran Sang Mesias?
“All but One” adalah providensia Allah.
Peristiwa bayi dan kekuasaan yang hendak membunuhnya terulang kembali. Dalam sejarah Israel, mereka tidak akan pernah melupakan perintah Firaun untuk membunuhi semua bayi laki-laki Israel. Dari perintah kepada bidan sampai akhirnya perintah kepada seluruh kepada seluruh rakyatnya (Keluaran 1:15,22). Semua bayi laki-laki Israel! Namun apakah yang terjadi selanjutnya?
“Semua tetapi satu” (All but one) yang tidak dapat dibunuh oleh Firaun. Para bidan membiarkan bayi laki-laki Israel tetap hidup. Puteri Firaun justru menyelamatkan dan memelihara satu bayi laki-laki Israel! Ialah Musa yang akan dipanggil TUHAN untuk memimpin Israel keluar dari Mesir. Inilah providensia TUHAN! Para diktator selalu menyerukan “semua” (all), semua harus tunduk, semua musuh harus dimusnahkan, semua harus seia sekata, atau semua harus dibungkam! Para diktator lupa mereka bukan Allah. All but one! Mereka tidak dapat menguasai “semua.”
Bagaimana sikap kita ketika seolah-olah “semua” jalan sudah tertutup? Ketika “semua” beban menimpa hidup kita. “Semua” persoalan membuntukan jalan kita? Apakah benar “semua”? Tidak! Masih ada jalan yang TUHAN sediakan bagi anak-anak-Nya. Orang benar terjatuh namun tidak dibiarkan tergeletak. “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya.” (Yesaya 42:3). TUHAN menyediakan jalan keluar bagi anak-anak-Nya.
“One but all” adalah kerusakan kita dalam dosa.
Bagaimana hubungannya dengan Matius 2? Herodes sudah menyerupai Firaun. Ia memberikan perintah untuk “membunuh semua anak di Bethlehem.” (Matius 2:16). “Semua” disini berbeda dengan peristiwa Keluaran 2. Herodes awalnya tidak bermaksud membunuh semua anak di Bethlehem. Ia hanya perlu membunuh satu anak yang diceritakan oleh orang-orang Majus dari Timur itu. One but All! Satu yang ia maksudkan namun akhirnya ia membunuhi semua. Herodes tidak berdaya menahan kemarahannya. Ia tidak terkendali lagi. Dosa membuat manusia masuk dalam jebakan berangkai segala penjuru. Satu kasus berangkai tanpa kendali ke segala arah. Kerumitan bahkan kekejaman di depan mata. Satu tapi menjadi semua. One but all.
Inilah didikan firman TUHAN bagi hidup kita. TUHAN mengaruniakan tubuh bagi kita. Tubuh dan kehidupan ini adalah anugerah TUHAN. Ia bisa dimatikan, namun tidak akan pernah ditiadakan! (Bandingkan perkataan TUHAN Yesus, Matius 10:28). Tubuh bisa dianiaya, bisa menderita namun tidak ada seorangpun yang dapat menguasai seutuhnya. TUHAN memelihara dalam kasih karunia-Nya. Tidak ada seorangpun mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas yang dapat meniadakan kehidupan itu sendiri.
Tubuh kita hanya satu namun ia bisa menjadi berkat bagi yang lain. Tubuh dan kehidupan kita tidak sepatutnya berangkai dengan ratapan orang lain atas kita. Ketika kita berbuat dosa, kita merasa ini urusan saya sendiri. Ketika melakukan kecurangan, kita merasa ini strategi saya sendiri. Tidaklah demikian TUHAN menciptakan kita dengan tubuh. Tubuh berangkai dengan yang lainnya. Ketika kita berbuat dosa, kita membuat ada yang meratap. Tubuh sepatutnya menjadi berkat bagi sesama kita. Ketika kita tidak bertumbuh dalam kebenaran, apalagi berjalan dalam kegelapan, ada yang meratap untuk itu! Paulus menegaskannya dalam kehidupan gereja. Gereja adalah tubuh, dimana salah satu anggotanya sakit, yang lain akan turut merasakannya.
“One for All” adalah karya keselamatan Allah bagi kita.
Alangkah indahnya kita menuruti jejak TUHAN Yesus, bukan one but all, tetapi one for all! Dalam kelemahan kita, kita melakukan satu perbuatan yang salah, akan menghasilkan rangkaian yang kita tidak dapat duga. Sebagai orang yang ditebus dalam darah Kristus, kita dipanggil untuk One for All. Hidup dengan tubuh memang terbatas. Tubuh hanya satu dan hidup satu kali, namun ia bisa menjadi berkat bagi sesama yang lain. Tidak perlu kita memiliki 1000 tubuh apalagi 1000 muka untuk menjadi berkat. Kita hanya perlu “satu” tubuh, namun dalam anugerah-Nya dapat menjadi berkat bagi yang lain, bahkan bagi banyak orang.
Bagaimana respon kita terhadap TUHAN dan kasih-Nya kepada kita?
All for One! Seluruh aspek hidup kita, seluruh milik kita, seluruh pergumulan kita hana kita tujukan kepada Dia, Sang Pencipta dan Penebus kita. Segenap hati, pikiran, kekuatan, dan tubuh kita hanya bagi Dia yang patut menerima penyembahan kita. Dialah Yesus Kristus, Tuhan kita.
O come let us adore Him
O come let us adore Him
O come let us adore Him
Christ the Lord.
— Pdt.Joshua Lie
Ancaster-Ontario
Artikel ini dapat saudara/i teruskan dengan menuliskan pengarang: Pdt. Joshua Lie, dan diambil dari wkristenonline.org