Tidur
Seluruh kehidupan manusia ditandai dengan dua keadaan, yaitu bangun dan tidur. Keduanya memberi makna bagi kehidupan itu sendiri.
Kata tidur dalam bahasa Inggris (sleep) berasal dari kosa kata Jerman (schlafen) yang diambil dari kata Gothik “sleps” yang menandai kelelahan tubuh manusia. Kelelahan dan kerengangan otot menyatakan keadaan tubuh yang kemudian mengindikasikan tahapan kenyenyakan tidur seseorang.
Tidur tidak hanya menyatakan keadaan fisik manusia, juga menyatakan keadaan mentalnya. Martin Luther memperkenalkan kata ‘schlummern’ yang berkaitan dengan kata ‘slumber’ dalam bahasa Inggris menunjukkan keadaan mental seseorang. Kata ini sejalan dengan kata “drusian” (dreosan, to fall) yang menggambarkan keadaan tenggelam, dan terperosok.
Tidur menyatakan pula sikap dan keadaan rohani seseorang. Tidur menyatakan kemalasan, ketidak pedulian bahkan kematian. Amsal 20:13 menyamakan tidur dengan kemalasan yang mengakibatkan kemiskinan. Paulus menyerukan orang percaya untuk bangun, dan bangkit dari antara orang mati (Efesus 5:14).
Saat kita tidur, kita berhenti melihat, mendengar, dan sadar akan sekitar kita. Keadaan tidur ini berbeda dengan keadaan bangun. Kedua kata ini menyatakan dua dunia yang berbeda. Namun keduanya kadang sukar diberi batasan yang jelas. Ketika kita bangun dengan tiba-tiba di tengah malam, tidak serta merta kita sadar akan keadaan kita.
Tidur menandakan ketergantungan manusia. Manusia bukanlah mahluk yang selalu dapat terjaga dan menjaga dirinya apalagi menjaga orang lain. Manusia kadang menutupi keadaannya ini supaya tampak kehebatannya. Padahal ketika seorang tidur, ia tidak lebih dari seorang yang lemah dan tak berdaya.
Pemazmur menyadari akan hal ini. Ia menyadari ketika ia tidur. Ia hanyalah seorang yang tak berdaya. Bangun merupakan anugerah TUHAN baginya. Ia berkata, “Aku membaringkan diri lalu tidur; aku bangun, sebab TUHAN menopang aku” (Maz 3:6).
Dalam mitos Yunani kuno, tidur disandingkan dengan kematian. Tidur (Hypnos) dan kematian (Thanatos) adalah anak-anak dari dewa malam, Nyx. Penyair Roma Ovid menyebut tidur sebagai “counterfeit of death.” Suku-suku Jerman kuno mengaitkan tidur dan kematian sebagai saudara kandung. Ketika seseorang tidur, ia berada dalam bayangan kematian yang begitu lekat. Suatu ketegangan dalam hidup manusia.
Sejauh mana kita memahami tidur dalam kaitan dengan kematian?
Dalam Injil Yohanes (11:12-15), Tuhan Yesus menyatakan keadaan Lazarus kepada para murid-Nya, “Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.” Mendengar perkataan Tuhan Yesus, para murid memahami tidur dalam arti biasa maka mereka berkata “Tuhan, jikalau ia tertidur, ia akan sembuh.” Jikalau umumnya tidur dianggap sebagai tiruan dari kematian atau malah sejajar dengan kematian, Tuhan Yesus malah menyatakan sebaliknya. Kematianlah yang menyerupai tidur. Lazarus sesungguhnya sudah mati, namun Tuhan Yesus menyebutnya sebagai tidur. Kematian seperti tidur karena kematian bukanlah akhir segalanya.
Dalam peristiwa Lazarus, Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya, “Akulah kebangkitan dan hidup.” Pernyataan ini memberikan jalan baru kita memahami bangun dan tidur. Jikalau bangun dibayangi oleh tidur dan tidur dibayangi oleh kematian. Maka di dalam Yesus Kristus, justru kematian seperti tidur. Kematian bukan akhir segalanya. Kematian disusul dengan kebangkitan. Pemazmur menyatakannya dalam pengalaman kehidupannya. Sekalipun hidupnya dalam bayangan sheol (Mazmur 23:4), ia tidak takut karena TUHAN besertanya.
Tidur menggambarkan pula perjalanan kita melalui kegelapan menuju terang, dari kematian menuju kepada kebangkitan. Tidur menyatakan dari kreasi (creation) menuju kepada re-kreasi (re-creation).
Inilah yang dialami oleh Abraham. Ketika matahari mulai terbenam, kantuk menyergapnya, dan iapun tertidur dengan nyenyak (Kejadian 15:12). Tidurnya Abraham menandakan kelelahannya. Ia baru saja sibuk menyiapkan korban persembahan sebagaimana diperintahkan TUHAN baginya. Bukan hanya tubuhnya lelah, jiwanya pun lelah karena penantiannya akan janji TUHAN seolah tidak kunjung tiba.
Namun tidurnya Abraham bukan sekedar saat istirahat. Ketika Abraham tertidur dengan nyenyak, TUHAN Allah meneguhkan perjanjian-Nya. Perjanjian yang menjadikan hidup Abraham tidak berhenti pada dirinya sendiri. Perjanjian yang menetapkan keturunan Abraham dalam penggenapan rencana Allah bagi keselamatan manusia.
Demikian pula Adam ketika di taman Eden. TUHAN Allah membuat Adam tidur nyenyak (Kejadian 2:21). Tidur merupakan suatu yang menyatu dengan hidup manusia sebagai ciptaan Allah. Namun ketika Adam tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuknya, dan dibangun-Nya lah seorang perempuan. Tidur bagi Adam merupakan saat TUHAN Allah mengenapi karya-Nya. Ketika Adam bangun, dan dijumpainyalah perempuan yang dibawa TUHAN Allah kepadanya, Adam mengakui karya TUHAN.
Tidur menandakan ketergantungan kita kepada Sang Pencipta. Bagi kita, tidur adalah saat TUHAN menggenapi kasih karunia-Nya (Mazmur 127:2). Bangunlah, dengan pengakuan akan kedaulatan-Nya dan bersyukur kepada-Nya, lalu lanjutkan kasih karunia-Nya sepanjang hari-hari kita. Ketika kita menyadari bahwa TUHAN terus mengerjakan kasih karunia-Nya ketika kita tidur, apakah kita layak bangun dengan ketakutan kita akan mimpi buruk kita sendiri? Atau bangun dengan mimpi yang muncul dari ambisi kita sendiri?
Jangan sampai ketika kita bangun, yang kita sadari hanyalah diri kita sendiri, ambisi dan keperluan diri belaka. Jangan sampai kita bangun dengan nafsu untuk mencapai mimpi kita sendiri. Mari kita bangun untuk menggenapi panggilan-Nya dalam hidup kita, karena Dia tidak pernah tertidur, penjaga umat-Nya (Mazmur 121:4).
“Loving God, as the rising sun chases away the night, so you have scattered the power of death in the rising of Jesus Christ.” BCW