
Mengikut Yesus
Pergantian tahun mengingatkan kita akan sejauh mana perjalanan hidup kita sudah berlangsung. Ia tidak berbicara soal bagaimana kita hidup. Ia tidak menyediakan kertas evaluasi kehidupan kita. Ia hanya bermaksud menyatakan seberapa banyak usia hidup kita.
Namun menariknya, penanggalan tidak dapat dihitung tanpa referensi. Sejarahwan gereja mula-mula, Eusebius menanggalkan kelahiran Kristus dengan referensi kepada penciptaan langit dan bumi. Ia dapati pada tahun ke 5200. Ketika kekaisaran Romawi berkuasa, maka penanggalan dihubungkan dengan “sejak Roma berdiri” (Ab Urbe Condita).
Kelahiran Tuhan Yesus menandai penanggalan yang kita gunakan saat ini. Kita menggunakan istilah B.C. (Before Christ) dan A.D. (Anno Domini, “in the Year of the Lord”). Tradisi ini dimulai oleh Dionysius Exiguus pada sekitar tahun 533 A.D. dan disempurnakan oleh Paus Gregory yang menciptakan penanggalan Gregorian. Sedangkan penggunaan B.C. merupakan karya Isidore of Seville (570-636 A.D.).
Maka pergantian tahun bukan lagi sekedar mengukur sudah berapa lama kita hidup di dunia ini, atau sudah berapa tua-kah perjalanan sejarah umat manusia, melainkan berkaitan dengan rangkaian karya Allah di dalam Kristus atas segenap ciptaan.
Untuk itu alangkah bijaknya jika kita merenungkan kembali perjalanan langkah kita dengan langkah-langkah Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat. Langkah kita tidak semestinya diukur dengan odometer seperti mobil untuk menentukan nilainya, melainkan bagaimana posisi dan arah kita di hadapan Tuhan semesta alam.
(1) Mengikut Tuhan Yesus dalam perahu (boat).
Posisi mengikut adalah posisi di belakang. Mengikut berarti selalu berada di belakang yang kita ikuti dan memandang yang kita ikuti agar kita tidak ketinggalan dan tidak kehilangan arah. Mengikut Yesus berarti mengikuti-Nya di belakang, dan senantiasa memandang kepada-Nya.
Mengikut Yesus ternyata tidak semudah ini. Tidak mudah kita selalu berada di belakang, tidak mudah pula kita senantiasa memandang kepada Tuhan dalam perjalanan kita. Mari kita amati apa yang dinyatakan dalam Injil Markus. Tuhan Yesus memanggil para murid di tepi pantai ketika mereka sedang sibuk memandang dan mengamati pekerjaan mereka serta menghitung hasil tangkapan. Mereka segera meninggalkan jala dan mengalihkan pandangan kepada Yesus. Mereka mengikut Yesus.
Dalam perjalanan selanjutnya, mengikut Yesus tidak selalu di belakang. Tuhan Yesus memuridkan mereka menurut Injil Markus di dalam perahu (boat) dan di tengah perjalanan (road).
Ketika mereka berada di dalam perahu, apa yang mereka lihat? Mereka memandang ke depan, ke tempat yang mereka tuju. “Marilah kita bertolak ke seberang,” demikian perkataan Yesus kepada mereka. Menuju ke seberang. Ke sanalah pandangan mereka tertuju. Ke daerah asing, daerah yang dihuni oleh kebanyakan bukan Yahudi. Ketika mereka melihat sekitar, air dan riaknya yang mereka lihat. Itulah pandangan mereka.
Maka tidak mengherankan, ketika angin taufan datang dan mengamuk di danau itu, mereka digentarkan. Tujuan yang tidak nyaman ditambah perjalanan yang tidak bersahabat membuat pandangan mereka dipenuhi dengan ketakutan. Apalagi ketika melihat Yesus yang mereka ikuti tidur di buritan, maka penuhnya ketakutan mereka.
Mata adalah kepedulian. Mata para murid melihat tidurnya Yesus sebagai ketidak pedulian-Nya (Markus 4:38). Mata para murid dengan kepedulian yang tinggi dipenuhi dengan ancaman bayangan ketakutan dan kematian yang dahsyat.
Bagaimana mereka mengikut Yesus ketika berada di dalam perahu di tengah badai yang dahsyat menuju tujuan daerah yang asing?
Mengikut Yesus berarti kembali memandang kepada-Nya. Namun ketika para murid kembali memandang kepada-Nya, mereka bertambah ketakutan. Mereka berkata seorang kepada lain, “Siapakah gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?” (Markus 4:41)
Apakah ini merupakan pengalaman kita mengikut Yesus? ‘Mata’ yang sudah dipenuhi dengan ketakutan, ketidak-nyamanan, dalam keterasingan, menjadi buram ketika memandang kembali kepada Yesus. Ironisnya hal ini justru terjadi ketika kita menyaksikan kuasa Tuhan yang menenangkan angin tofan. Inilah yang membuat kita merasa berjalan sendiri dalam pergumulan kita saat kita mengikut Dia, Sang Juruselamat kita.
(2) Mengikut Tuhan Yesus dan dalam perjalanan (road).
Ketika kita mendengar kata perjalanan, kita membayangkan para murid mengikut Yesus di belakang. Namun Markus menguraikan posisi yang lain.
Ketika berada di Kaisarea Filipi (Markus 8:27), Yesus berhadapan dengan para murid dan mengajukan pertanyaan, “Kata orang, siapakah Aku?” Mereka menyangka mengikut Yesus hanyalah berada di belakang. Mengamati bagaimana Yesus menghadapi berbagai macam orang. Kagum menyaksikan Yesus menyembuhkan orang-orang sakit dan memberi makan kepada ribuan orang.
Kini mereka berhadapan dengan Yesus. Yesus bertanya langsung kepada mereka. Mengikut Yesus berarti pula berhadapan dengan-Nya. Mendengar perngajaran-Nya. Memperhatikan pertanyaan-Nya. Maka para murid dengan sigap menjawab. Jawaban mereka menandakan mereka adalah pengamat yang baik. Mereka mendengar kata orang-orang disekitar mereka tentang siapakah Yesus.
Langkah berikutnya adalah pertanyaan ditujukan kepada mereka. Bukan lagi menurut kata orang, melainkan menurut kata mereka sendiri. Mereka bukan sekedar sebagai pengamat yang baik. Mereka diajak untuk memahami dan menghayati artinya mengikut dengan mengenal siapa yang mereka ikuti. Maka Petrus segera menjawab, “Engkau adalah Mesias!” (Markus 8:29). Mengikut Yesus berarti pula berhadapan dengan Yesus. Dan berhadapan dengan-Nya menuntut pengenalan yang benar akan Dia.

Namun berhadapan berubah menjadi di samping. Apa yang terjadi? Ketika Yesus menguraikan apa artinya sebagai Mesias kepada para murid-Nya, yaitu tentang penderitaan dan kematian serta kebangkitan-Nya, Petrus menarik Yesus ke samping (Markus 8:32). Ke samping menandakan kedekatan. Namun Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia. Mengikut Yesus bagi Petrus bisa berada di samping, begitu dekat. Namun sayangnya, kedekatan diikuti dengan kemauan sendiri bukan kemauan Yesus.
Bagaimana sikap Yesus? Ia berpaling dan memandang para murid-Nya. Petrus masih di samping, namun Yesus memandang para murid. Dan Ia menegor Petrus, “Enyahlah iblis” (“Get behind Me, Satan!”). Kata ‘setan’ menyatakan oposisi. Setan berkehendak menghalangi, menyimpangkan, dan mengacaukan perjalanan Yesus. Namun setan tidak berkuasa menghalangi perjalanan itu. Ia diperintahkan berada di belakang Yesus!

Mengikut Yesus tidak selalu berarti kita setia dan taat. Kadang kala kita merasa dekat dengan-Nya namun dengan kemauan kita sendiri. Mengikut Yesus berada di belakang, namun yang di belakang Yesus bukan hanya para murid. Setan juga berada di belakang Yesus. Apa bedanya para murid dengan setan sekalipun mereka berada di belakang Yesus?
Tuhan Yesus menegaskan siapakah sebenarnya yang mengikut Dia. Ia berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Markus 8:34).
Mengikut Yesus bukan sekedar posisi. Karena posisi bisa di belakang, bisa pula di samping, bisa pula Ia tidur di buritan, bahkan bisa pula Ia di belakang (Markus 6:45). Mengikut Yesus tidak selalu berarti mata kita memandang kepada-Nya. Seorang pengkhotbah yang mengikut Yesus setiap minggu memandang jemaat di depannya apalagi dalam kebaktian akbar yang dilihatnya adalah berapa banyak pengunjung kebaktian. Seorang Kristen yang berbisnis kebanyakan memandang pegawai dan buku accounting-nya. Seorang Kristen yang menulis di FB memperhatikan berapa banyak ‘like’ di statusnya. Apa artinya mengikut Yesus?
Memasuki tahun yang baru, bagaimana kita mengukur sukses dan gagalnya kehidupan kita? Dengan dasar apa kita membuat rencana kita? Di mana kita letakkan keberanian dan kekuatiran kita? Seberapa ‘dekat’ kita dengan Tuhan? Bagaimana kita memandang kepada-Nya? Mengikut Tuhan Yesus berarti meletakkan segala sesuatu dalam takaran panggilan-Nya.
Musim Dingin 2012
Pdt. Joshua Lie