Yohanes 4: Koinonia dan Ibadah (Bagian Kedua)
(1)
‘Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (4:23-24)
Ibadah merupakan pusat kehidupan manusia seperti poros sebuah roda. Berkenaan dengan penyembahan yang benar kepada Allah, Tuhan Yesus menegaskan soal waktu bukan tempat. Saatnya akan tiba dan sudah tiba sekarang. Dalam Injil Yohanes, “saat” menunjuk pada saat kematian dan kebangkitan Yesus (12:27; 17:1). Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menjadikan Gerizim dan Yerusalem tidak lagi sebagai poros bagi kehidupan umat Allah.
Dalam perjanjian yang lama (bandingkan Ulangan 12), tempat di mana beribadah merupakan hal yang penting. Namun ketika saatnya tiba, tempat tidak lagi menjadi suatu yang utama. Kematian dan kebangkitan Yesus merupakan saat penggenapan bagi ibadah yang sejati, yaitu menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran.
Roh menunjuk pada Roh Kudus. Yohanes menyaksikan Roh turun atas Yesus (1:29-34). Kepada Nikodemus, Yesus menegaskan perlunya lahir dari Roh (3:5-8). Menyembah dalam Roh berarti menyembah dalam Roh yang melahirkan kembali, Roh yang menghibur, Roh yang memimpin dalam kebenaran (14:7; 15:26).
Menyembah Allah dalam kebenaran sejalan dengan penegasan Injil Yohanes tentang kebenaran. Bagi Yohanes, kebenaran menyatakan realitas yang digenapi oleh Yesus. Hukum disampaikan melalui Musa, tetapi anugerah dan kebenaran dinyatakan oleh Yesus Kristus (1:17). Ayat ini tidak bermaksud bahwa Musa salah, melainkan kebenaran adalah penggenapan dan kepenuhan penyataan Allah melalui Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Ia adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran menunjuk pula kepada firman-Nya. Beribadah dalam kebenaran sejalan dengan realitas baru yang digenapi oleh Yesus Kristus.
Ibadah dalam Roh dan kebenaran berakar pada hakekat Allah itu sendiri. Allah adalah Roh (4:24). Ketika Alkitab menyatakan Allah adalah Roh bukan sekedar menunjuk pada ketiadaan tubuh melainkan menunjuk pada kuasa dan hakekat Allah.
(2)
“Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (4:26)
Perempuan Samaria kini menyadari bahwa Yesus bukan sekedar seorang nabi. Cukup banyak nabi yang ia kenal. Tidak asing baginya bertemu dengan seorang nabi. Namun kali ini, ia menyadari bahwa Yesus adalah Mesias (Kristus). Selama ini, ia dan bangsanya bukan hanya mempunyai nabi bahkan lima allah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Berhadapan dengan Yesus, Mesias, perempuan Samaria diperhadapkan dengan “suami” yang sebenarnya.
Sebagaimana orang Yahudi, perempuan Samaria mewakili bangsanya menyatakan kerinduannya akan kedatangan Mesias. Namun tidak disangkanya, kini ia berhadapan dengan Mesias. Mesias yang bukan sekedar nabi, tapi sekaligus korban yang sempurna bagi penebusan dosa. Mesias yang melalui kematian dan kebangkitan-Nya memberikan jalan penggenapan bagi ibadah yang sejati.
(3)
“Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (4:34)
Ibadah yang sejati bukan saja memberikan identitas yang baru di dalam Mesias, tetapi juga memberikan arah yang baru. Bagi perempuan Samaria, pertemuannya dengan Yesus menantangnya untuk mengenali dirinya bukan berdasarkan tempat tetapi berdasarkan karunia Allah. Para murid sekembalinya mereka dari mencari makanan ditantang untuk memikirkan kembali arti makanan bagi mereka.
Jikalau tempat memberikan identitas dan rasa aman bagi perempuan Samaria, bagi para murid, makanan diperlukan untuk bisa tetap hidup dan melanjutkan perjalanan sehingga tidak berada di tempat yang tidak menyenangkan seperti Samaria. Namun perkataan Tuhan Yesus mengingatkan mereka arti makanan dalam kaitan dengan ibadah yang sejati.
Makanan tanpa kesadaran akan ibadah yang benar akan menghasilkan kekacauan seperti yang tampak dalam jemaat Korintus. Makanan tanpa menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran hanya akan menjadi sumber pemenuhan diri sendiri. Makanan bagi setiap orang yang menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran berdasarkan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menjadi kekuatan sebagaimana dilaksanakan dalam Perjamuan Kudus.
Makanan tidak lagi sebagai pemisah antara sesama manusia seperti awal peristiwa ini. Minuman telah menjadi persoalan yang berasal dari keterpisahan Yahudi dan Samaria. Kita dipanggil untuk menggemakan perkataan Tuhan Yesus bahwa “Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”
(4)
“Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai” (4:35)
Tempat bukan lagi pengikat. Tempat adalah ladang yang siap untuk dituai. Perempuan Samaria yang awalnya begitu sukar memberikan minum kepada Yesus, seorang Yahudi, kini dengan sukacita mengabarkan Mesias yang ditemuinya kepada kaum sebangsanya.
Ibadah dalam Roh dan kebenaran berdasarkan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus memulihkan hidup kita. Ibadah tidak berakhir pada diri kita, tetapi meneruskannya menjadi misi kerajaan Allah. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan turut dalam retreat “Practicing Resurrection” yang diadakan oleh CINO and Russet Farm. Mereka tidak sekedar menyampaikan ceramah dan membahas tema dengan perkataan namun juga dengan mempraktekkan dalam semua rangkaian acara retreat.
Kini kita beribadah dalam penggenapan waktu setelah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Kita dimungkinkan beribadah dalam Roh dan kebenaran. Ibadah yang sejati menghasilkan air hidup yang mengalir sampai pada hidup yang kekal.