Kidung Agung
Kidung Agung demikianlah kitab ini disebut. Memang demikianlah maknanya. Kitab ini menyampaikan kidung agung yang teragung yang dapat diutarakan dalam bahasa manusia.
Tidak mudah kita memahami kitab ini. Bukan karena kitab ini memang sukar dipahami, melainkan karena keadaan kita dan dunia sekitar kita yang menyulitkan kita. Kitab ini secara terbuka berbicara tentang kasih. Kasih yang bukan sekedar kata-kata, tetapi kasih yang dekat, yang intim, yang menyentuh, bukan sekedar melihat dan mendengar, bahkan kasih yang menyentuh dan mengecap. Tentu tidak mudah kita pahami karena kasih dalam dunia berdosa perlu dikekang. Tanpa pengekangan, kasih bisa menjadi liar dan merusak. Dunia moderen yang mementingkan penglihatan membawa manusia ke dalam jebakan pornografi. Melihat seolah-olah masih bisa dimaklumi daripada menyentuh dan mengecap. Maka berkobarlah kasih menjadi nafsu yang merusak.
Sebaliknya untuk meredam kebahayaan itu, kasih kita menjadi hambar. Banyak orang tua yang jarang memeluk anak-anaknya. Suami dan istri canggung menyatakan keintiman yang benar di depan anak-anak mereka.
Bagaimana kita sepatutnya memahami kasih yang sejati, kasih yang bersumber pada TUHAN dan kasih yang sudah dinyatakan dengan kedatangan Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal bahkan digenapi dalam kematian dan kebangkitan-Nya?
BAGIAN Pertama:
Dari Taman kembali ke ‘Taman’
Kasih TUHAN, Allah pencipta langit dan bumi kepada manusia dapat disaksikan sejak awal karya-Nya. Bahkan kita dapat menyebutnya ex-amore, keluar dari kasih-Nya. Ia menjadikan segala sesuatu dengan firman-Nya. Firman dari TUHAN Allah yang adalah kasih. Perhatikanlah taman Eden, taman yang disediakan bagi Adam dan Hawa, turut menyatakan kelimpahan kasih-Nya.
Indera yang diberikan TUHAN bagi manusia dipuaskan dengan segala yang ada dalam taman itu. Berbagai pohon dengan bentuk dan warna-warni yang indah. Buah-buahan yang indah dan sedap rasanya. Dataran dan lembah yang seolah-olah menari dengan lekukannya. Benda-benda angkasa yang menerangi sekaligus menjadi hiasan di angkasa. Suara gemericik air yang merdu. Udara yang menyegarkan. Belum lagi kicauan burung, dan berbagai macam suara binatang. Hijaunya rumput menjadi permadani bagi kaki manusia. Bukan saja mata dipuaskan, buah-buahan di taman turut memuaskan lidah yang mengecapnya. Demikanlah Kejadian 2:9 “Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya…”
Sayangnya segala kebaikan itu berakhir ketika ketidak-taatan kepada TUHAN dimulai. Ketidak-taatan yang disertai dengan ketidak-setiaan manusia kepada Pencipta-Nya menjadikan taman Eden menjadi kenangan. Manusia diusir dari taman (Kejadian 3:23).
Bagaimana dengan kenangan taman Eden itu?
Inilah peranan Kidung Agung. Kitab ini memperkatakan kembali keindahan taman Eden. Namun bukan sekedar taman yang dipuji keindahannya, namun keindahan taman kini dilekatkan pada sang kekasih.
“Dinda, pengantinku, kebun tertutup engkau, kebun tertutup dan mata air termeterai. Tunas-tunasmu merupakan kebun pohon-pohon delima dengan buah-buahnya yang lezat, bunga pacar dan narwastu, narwastu dan kunyit, tebu dan kayu manis dengan segala macam pohon kemenyan, mur dan gaharu, beserta pelbagai rempah yang terpilih. O, mata air di kebun, sumber air hidup, yang mengalir dari gunung Libanon!” (4:12-15)
Mempelai laki-laki memuji keindahan mempelai perempuan, sang kekasihnya, dengan gambaran taman nan indah. Kekasihnya adalah “taman tertutup,” dan “mata air termeterai.” Kekasihnya begitu lekat dengannya, tertutup dan terpelihara cintanya hanya untuk dirinya. Kekasihnya mewakili segala keindahan dan keharuman serta kesegaran taman dengan berbagai kekayaan alamnya nan subur. Segala kemegahan dan keindahan alam menyatu dalam diri sang kekasihnya. Delima, bunga pacar, narwastu, kunyit, tebu dan kayu manis, mur dan gaharu, rempah-rempah pilihan, kemenyan. Semuanya memberikan keharuman ketika “musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu.” (2:11) Semuanya mulai bersemi kembali, “Ke kebun kenari aku turun melihat kuntum-kuntum di lembah, melihat apakah pohon anggur berkuncup dan pohon-pohon delima berbunga.” (6:11).
Kidung Agung menghantar kita mengingat kembali akan keindahan taman, anugerah TUHAN bagi manusia yang diciptakan-Nya. Dosa memang telah menenggelamkan keindahan itu, mengubahnya menjadi nafsu dan hasrat untuk merampas. Namun kita tetap beroleh pengharapan untuk mengecap keindahannya di dalam kasih-Nya. Kasih-Nya yang dilimpahkan bagi kita sehingga kita bisa saling mengasihi dalam kasih-Nya.
Dengarkanlah seruan mempelai perempuan kepada kekasihnya. “Bangunlah, hai angin utara, dan marilah, hai angin selatan, bertiuplah dalam kebunku, supaya semerbaklah bau rempah-rempahnya! Semoga kekasihku datang ke kebunnya dan makan buah-buahnya yang lezat.” (4:16) Angin bahkan dengan geloranya sekalipun tidak menyurut kasih, melainkan menghasilkan bau yang semerbak.
Ketika dunia sekitar kita menyuguhkan berbagai tragedi, berbagai kekerasan dan kebencian dengan hasrat yang meluap, dan berbagai komedi yang dipertontonkan, sebagai orang yang telah mengenal dan menerima kasih Allah di dalam Kristus, kita adalah ‘kebun’ milik-Nya yang siap memancarkan keharuman dan keindahan yang sejati.
Keindahan itu perlu dimulai dari rumah kita masing-masing. Kelimpahan cinta kasih suami dan istri dalam kebenaran TUHAN akan meluap pada anak-anak serta memberikan kekuatan bersaksi di tengah-tengah dunia ini.
Suara mempelai laki-laki yang memanggil kekasihnya mengingatkan kita akan peristiwa yang terjadi dalam taman Eden. Ia menyapa kekasihnya dengan sebutan “Dinda, pengantinku” dalam terjemahan bahasa Inggris disebut “My sister, my bride” seperti yang diutarakan dalam bahasa Ibraninya. Mengapa ia menyebut kekasihnya, saudariku?
Kata ini mengingatkan kita pada seruan Adam kepada Hawa ketika TUHAN membawa Hawa kepadanya. Ia berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku.” (Kejadian 2:23). Adam dan Hawa dipersekutukan dalam kehidupan suami dan istri. Menariknya Adam tidak saja menerima Hawa sebagai penolongnya yang sepadan, sebagai istrinya, namun ia menyadari Hawa sebagai satu kesatuan dengan dirinya. Keindahan kehidupan suami dan istri tidak sekedar didasarkan pada tanda tangan catatan sipil, ataupun upacara di gereja ditambah dengan kemeriahan pesta pernikahan. Ia dipancarkan dari kesadaran kesatuannya. Istri bukan sekedar pengakuan sang suami ataupun sebaliknya. Suami dan istri adalah dua menjadi satu.
Kadang kita menyaksikan bagaimana seorang perempuan yang sudah menikah merasa lebih dekat dengan anaknya daripada dengan suaminya, atau bagaimana seorang laki-laki lebih mempertahankan anaknya daripada menjaga dan menghargai hubungan dengan istrinya.
Keindahan taman dipancarkan kembali dalam keindahan suami dan istri, dalam keluarga yang berkenan kepada TUHAN. Inilah janji dan kelimpahan Kidung Agung.
BAGIAN Kedua:
Dari Kota kembali ke ‘Kota’
Kidung Agung tidak hanya menguraikan taman. Kota juga disebutnya. Taman dan kota yang dilukiskan oleh Kidung Agung merupakan tempat memadu kasih di antara dua kekasih. Kalau taman menyatakan keindahan bentuk dan warna yang indah ditambah dengan bau semerbak wewangian bunga, maka kota dilukiskan dengan kenikmatan anggur dan kemewahan. Maka kota menyimpan keindahan tragis.
Ketika malam tiba, mempelai perempuan kehilangan kekasihnya. “Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia. Aku hendak bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia. Aku ditemui peronda-peronda kota. “Apakah kamu melihat jantung hatiku?” (3:1-3)
Ia mencari di ranjangnya, tidak ditemuinya. Maka ia bergegas ke luar, ke dunia orang banyak, ke kota. Banyak orang dijumpainya, namun ia tidak pula menemukan kekasihnya. Bahkan peronda-peronda turut prihatin dengan mempelai perempuan. Inilah gambaran kota. Kota yang penuh kenikmatan, penuh sukaria, penuh kesibukan, sekaligus memberikan pengalaman kehilangan. Kesendirian tanpa kekasih merupakan pengalaman di kota.
Belum cukup Kidung Agung mengungkapkan kota. Di kota pula kita mengalami keterpisahan. “Kekasihku kubukakan pintu, tetapi kekasihku sudah pergi, lenyap. Seperti pingsan aku ketika ia menghilang. Kucari dia, tetapi tak kutemui, kupanggil, tetapi tak disahutnya. Aku ditemui peronda-peronda kota, dipukulinya aku, dilukainya, selendangku dirampas oleh penjaga-penjaga tembok.” (5:6-7)
Kenikmatan diikuti dengan kepedihan. Kenikmatan menjadi bagian kesakitan, dan kesakitan menjadi bagian dari kenikmatan. Itulah gambaran kota. Malu menjadi tipis karena kenikmatan lebih penting. Rasa bersalah dipendam karena kesakitan tidak diinginkan.
Darimana asal mulanya pengalaman ini? Kita kembali perlu merujuk pada Kitab Kejadian. “Kain mendirikan suatu kota dan dinamainya kota itu Henokh, menurut nama anaknya” (Kejadian 4:17). Kain membangun sebuah kota (Cain was then building a city, and he named it after his son Enoch). Segera kita dapati Kain seolah-olah adalah pembangun pertama di dalam dunia ini. Ia membangun sebuah kota. Dengan pernyataan ini maka tidaklah heran, kota adalah sebuah dilema bagi umat manusia.
Kota didirikan oleh Kain setelah ia menumpahkan darah adiknya, Habel. Kepuasan untuk melampiaskan kemarahannya segera berubah menjadi ketakutan ketika TUHAN menyatakan kedaulatan-Nya atas kehidupan. Ia tidak dapat memungkiri ketakutannya akan hukuman dan pembalasan yang menimpanya.
Itulah gambaran kota.
Namun sebelum Kain dapat ‘membangun’ sebuah kota, kitab Kejadian menyatakan bahwa TUHAN Allah lah yang membangun terlebih dulu. Dengan kata kerja yang sama, dinyatakan TUHAN Allah ‘membangun’ perempuan (Kejadian 2:22). Hawa bukan sebuah kota, namun Hawa menjadi gambaran ‘kota’ yang berbeda dengan yang dibangun Kain. Ia adalah gambaran kota mempelai perempuan. Hawa dibangun TUHAN Allah sebelum Kain membangun kota.
Jikalau Kain membangun kota setelah darah Habel ditumpahkan ke tanah, TUHAN Allah membangun Hawa tanpa pertumpahan darah, melainkan ke luar dari kasih-Nya, yang tidak berkenan Adam hidup seorang diri saja. Hawa dibangun dengan niat bersekutu dan saling melengkapi dalam panggilan Penciptanya. Adam tidur ketika diambil tulang rusuknya. Dalam tangan sang Pencipta, Adam menyerahkan tulang rusuknya untuk kehadiran perempuan, penolongnya yang sepadan.
Inilah gambaran dalam Kidung Agung. Sekalipun perjalanan kota dibayangi oleh bayangan Kain, namun kota yang sesungguhnya, dibangun atas kasih yang sesungguhnya tetap berlangsung sampai kepada penggenapannya.
Sang mempelai perempuan, sejak awal dicemooh oleh puteri-puteri kota Yerusalem. Ia dipandang hitam sebab teriknya matahari di pedesaan. Puteri-puteri kota meremehkannya (1:5). Bahkan ia dicampakkan dan dipukuli oleh penjaga-penjaga tembok kota (5:7). Namun akhirnya, dengan kasihnya kepada kekasihnya, ia menyanyikan pujian kemenangan dengan gambaran kota (8:10). Ia yang mengalami pukulan di tembok kota, sesungguhnya ia-lah tembok itu. Kota tidak lagi mengancamnya. Sebaliknya dengan kasihnya, ia mewarnai kota dengan keindahan yang sejati.
Kita dipanggil bukan sekedar ‘membangun’ kota dengan segala kemegahannya, namun dipanggil untuk membangun sesama manusia di dalam kasih dan kerelaan untuk memberikan persembahan yang terbaik. Kota tidak hanya berisi monumen, gedung, museum, jembatan, jalan-jalan, concert hall, taman, mal, rumah, dan istana dengan segala kesibukannya. Kota perlu diisi dengan hidup yang diperbaharui dalam kasih yang sejati. Kasih dari TUHAN yang menebus, memperbarui, menyegarkan, dan memenangkan kegelapan kota yang dibangun oleh Kain.
BAGIAN ketiga:
Meterai
Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina (Kidung 8:6-7)
Akhir-akhir ini kita dipertontonkan berbagai macam kekuatan (power). Kekuatan sejumlah besar orang dengan keberaniannya menyerbu dan membunuh. Kekuatan teror bom yang menghasilkan ketakutan. Kekuatan penduduk negeri menolak pemimpin yang sudah bertahta puluhan tahun. Kekuatan seorang pemimpin yang memilih bertahan sampai mati dengan kekejaman membunuhi rakyatnya. Kekuatan uang yang membuat rakyat sampai politikus bertekuk lutut. Inilah kekuatan yang tampak di sekitar kita. Kekuatan yang sejalan dengan kekejaman, kekerasan dan kematian. Kekuatan badai yang dahsyat. Dan kekuatan yang paling dahsyat adalah kekuatan kematian. Seolah-olah tidak ada lagi kekuatan lainnya.
Namun Kidung Agung menyatakan kekuatan yang lain, yaitu kekuatan kasih. Kasih bukan suatu yang lemah. Kasih bukan suatu yang dapat dianggap sepele. Kekuatan kasih sama dengan kekuatan maut. Kegairahannya gigih seperti dunia orang mati. Begitu dahsyat. Inilah kisah kidung agung. Kisah kekuatan kasih yang memperbaharui, kasih yang setia dan kasih yang menyatukan.
Kasih tidak dapat dibeli dengan harta benda. Kasih tidak dapat dipaksakan atau diada-ada. Kasih tidak dapat dipadamkan oleh air yang banyak sekalipun. Kasih bernyala-nyala seperti nyala api TUHAN! Kita tidak boleh mengabaikannya. Inilah kisah kidung agung, kisah umat Allah, kisah gereja Tuhan Yesus Kristus. Inilah yang dikatakan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35).
Ah, bukankah kekejaman, kekerasan dan kelicikan hati manusia lebih kuat daripada kasih. Mampukan gereja menyatakan kasih yang sekuat maut di tengah-tengah dunia ini? Ketika kita menelusuri kembali uraian bapak gereja akan kitab Kidung Agung, kita menemukan bahwa kasih yang meluap antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan menyatakan kasih antara Yesus Kristus sebagai mempelai laki-laki dengan gereja-Nya sebagai mempelai perempuan.
Gereja sebagai mempelai perempuan berada dalam dunia, antara ‘taman’ dan ‘kota.’ Namun perjalanannya bukanlah perjalanan tragedi ataupun komedi manusia berdosa. Perjalanannya adalah perjalanan kisah kasih dengan sang kekasih, yaitu Yesus Kristus sebagai mempelai laki-laki.
Ia mengecap dan menikmati kasih mempelai laki-laki, yaitu Yesus Kristus. Kasih yang tidak dapat dipatahkan oleh apapun di dalam dunia ini bahkan kematian sekalipun tidak dapat memisahkannya (Roma 8:35). Kasih yang murni, kasih yang bukan berasal dari tawar menawar keuntungan ataupun kasih yang pura-pura.
Adakah kasih antara gereja dengan Yesus Kristus kuat seperti maut? Adakah kasih itu kuat seperti maut menghadapi dunia seperti taman yang penuh dengan pencobaan dan dunia seperti kota yang penuh gejolak dan ironi?
Jawabannya terletak pada seruan mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki. Mempelai perempuan berseru, “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu.”
1
“Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu” seru mempelai perempuan. Meterai merupakan kata yang penting. Latar belakang Kidung Agung menyatakan bahwa meterai merupakan suatu komitmen. Komitmen yang mencakup kehidupan dan kematian. Baik kehidupan maupun kematian tidak menghalangi komitmennya kepada kekasihnya. Ketika menjalankan kehidupan ataupun menghadapi kematian, mempelai perempuan tetap berpegang pada komitmennya. Ia bersedia menjadi meterai pada hati kekasihnya. Adakah ‘mempelai perempuan’ yang sedemikian?
Perjanjian Lama menyatakan beberapa kisah penting yang menolong kita memahami seruan mempelai perempuan dalam Kidung Agung ini. Ada kisah Mikhal (1 Samuel 19). Ia seorang ‘mempelai perempuan’ bagi Daud karena ia adalah istri Daud. Ia berada dalam kisah antara ayahnya, Saul, dan kekasihnya, Daud. Saul telah merencanakan kejahatan terhadap Daud. Saul berniat membunuh Daud menjelang pagi di rumahnya. Malam itu akan menjadi malam terakhir bagi Daud. Mikhal mengambil sikap. Ia segera memberitahukan Daud rencana ayahnya, lalu menurunkan Daud dari jendela sehingga luputlah Daud dari kematian. Mikhal bertindak seperti seruan mempelai perempuan. Ia bersedia menjadi meterai pada hati kekasihnya.
Ada pula kisah seorang perempuan dari Abel-Bet Maakha (2 Samuel 20). Namanya tidak disebutkan, namun ia adalah seorang perempuan yang bijak. Suatu waktu, kotanya dikepung oleh Yoab dengan pasukannya. Yoab bermaksud menangkap dan menghukum Seba yang menggerakkan pemberontakan terhadap Daud. Kota Maakha diambang kehancuran. Dalam keadaan genting, muncullah perempuan bijak itu. Ia berdiri antara kehidupan dan kematian, antara kekasihnya, kota dan penduduknya, dengan kematian. Ia menyatakan komitmennya membela kotanya. Ia bersedia menjadi ‘meterai’ pada hati kekasihnya (kota dan keluarganya).
Ketika gereja sebagai mempelai perempuan berseru kepada Tuhan Yesus, “taruhlah aku seperti meterai pada hatimu,” gereja bersedia menyatakan komitmennya antara hidup dan mati, tetap memuliakan nama kekasih dan Tuhannya.
2
Meterai bukan hanya menyatakan suatu komitmen. Meterai ditaruh pula pada pakaian para imam dalam Perjanjian Lama. Ada ukiran nama para anak Israel yang menyerupai meterai diletakkan pada pakaian imam (Keluaran 28:11). Ukiran meterai nama para anak Israel itu diletakkan pada bagian penutup dada, di atas jantung imam (Keluaran 28:29). Meterai melambangkan tugas imam mewakili para anak Israel menghadap kepada TUHAN. Imam tidak dapat dengan dirinya sendiri. Ia datang dengan segenap nama anak Israel. Imam dan nama anak Israel bersatu.
“Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu” merupakan seruan yang agung. Mempelai perempuan rindu namanya berada dalam jantung hati kekasihnya. Ia telah menjadi satu dengan kekasihnya. Namanya selalu berada dalam hati kekasihnya, sebagaimana ia selalu ingin menyatu dengan kekasihnya. Meterai pada hati menyatakan saling memiliki dan menyatukan. Meterai menandai sang pemilik.
Demikianlah gereja berada seperti meterai pada hati kekasih, Tuhan dan Juruselamatnya, Yesus Kristus. Ketika gereja berseru seruan yang sama dengan serua mempelai perempuan dalam Kidung Agung, gereja beroleh kelegaan karena tiada yang lebih kuat dari kasih yang memadukannya dengan Yesus Kristus.
Meterai bukan hanya pada hati tetapi juga pada tangan. Hati karena hati mempelai laki-laki diikat oleh mempelai perempuan (Kidung 7:5). Dan tangan sebab tangan melambangkan kekuatan – kekuatan tangan TUHAN yang melepaskan mereka dari Mesir (Keluaran 6:6, 15:16, Ulangan 4:34, 5:15, 26:8), kekuatan tangan yang kekal akan memelihara Israel (Ulangan 33:17), kekuatan bala tentara TUHAN (Daniel 11:15,22). Tangan mempelai laki-laki sebagaimana hatinya adalah milik mempelai perempuan.
Adakah kita sebagai gereja-Nya memancarkan kasih yang kuat seperti maut di tengah-tengah dunia yang bergejolak ini?
Artikel ini ditulis sebagai tanda kasih kepada mereka yang menunjang pelayanan RWF dengan setia, seperti Kel. Thomas dan Juliana, Kel. Yohanes dan Linda Sari, dan Kel. Stephan dan Agnes